Sejarah
Positivistik
Pada abad ke-19, dunia filsafat sangat dipengaruhi
oleh filsafat positivisme. Pengaruh itu terutama sangat terasa di bidang ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu, dalam sejarah filsafat Barat, orang sering
menyatakan bahwa abad ke-19 merupakan “Abad Positivisme”. Suatu
abad yang ditandai dengan dominasi fikiran – fikiran ilmiah, atau apa yang
disebut ilmu pengetauan modern. Kebenaran atau kenyataan filsafati dinilai dan
diukur menurut nilai positivistiknya, sedang perhatian orang kepada filsafat,
lebih ditekankan kepada segi-seginya yang praktis bagi tingkah laku dan
perbuatan manusia. Orang tidak lagi memandang penting tentang “dunia yang
abstrak”.
Auguste Comte, atau nama lengkapnya
Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte (1798 – 1857), pendiri aliran
filsafat positivisme, telah menampilkan ajarannya yang sangat terkenal, yaitu hukum
tiga tahap (law of three stages). Melalui hukum ini dinyatakan bahwa
sejarah manusia, baik secara individual maupun secara keseluruhan, telah
berkembang menurut tiga tahap, yaitu tahap teologi atau fiktif, tahap metafisik
atau abstrak, dan tahap positif atau ilmiah atau riil. Secara eksplisit
juga ditekankan bahwa istilah “positif” adalah suatu istilah yang dijadikan
nama bagi aliran filsafat yang dibentuknya sebagai sesuatu yang nyata, pasti,
jelas, bermanfaat, serta sebagai lawan dari sesuatu yang negatif.
1. Tahap
teologi atau fiktif
Tahap ini merupakan tahap pertama atau awal setiap perkembangan jiwa atau
masyarakat. Dalam tahap ini manusia selalu berusaha untuk mencari dan menemukan
sebab yang pertama dan tujuan akhir segala sesuatu yang ada. Manusia percaya
bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kekuasan adikodrati yang mengatur
fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai
makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia, tetapi orang percaya
bahwa mereka berada pada tingkatan yang lebih tinggi dari makhluk-makhluk
insani biasa. Menurut Auguste Comte, tahap teologi ini tidak akan muncul begitu
saja , melainkan didahului pula oleh suatu perkembangan secara bertahap, yaitu:
a. Fetisyisme/animisme,
yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran
yang mempunyai anggapan, bahwa segala sesuatu yang berada di sekeliling manusia
mempunyai suasana kehidupan yang sama seperti manusia sendiri. Bahkan segala
sesuatu yang berada di sekeliling tadi akan mempunyai pengaruh yang menentukan
terhadap kehidupan manusia sedemikian rupa sehingga manusia harus menyesuaikan
diri dengannya. Adapun yang dimaksud dengan segala sesuatu itu adalah benda-benda
alam seperti gunung, pohon, batu dan lain lain.
b. Politeisme,
yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran
yang mempunyai anggapan bahwa daya pengaruh atau kekuatan penentu tidak lagi
berasal dari benda-benda yang berada di sekeliling manusia, melainkan berasal
dari makhluk-makhluk yang tidak kelihatan yang berada di sekeliling manusia.
Oleh karena itu, segala fikiran, tingkah laku, dan perbuatan manusia harus
disesuaikan serta diabdikan kepada keinginan para makhluk yang tidak keliatan
tadi. Berdasarkan kepercayaan ini maka kepercayaan timbul bahwa setiap benda,
gejala dan peristiwa alam dikuasai dan diatur oleh dewanya masing-masing.
Akibatnya, demi kepentingan dan keselamatan dirinya, manusia harus mengabdi dan
menyembah para dewa tadi melalui upacara-upacara ritual.
c. Monoteisme,
yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari bahwa pengaruh dan
kekuatan penentu itu tidak lagi berasal dari dewa-dewa melainkan berasal dari
satu kekuatan mutlak, adikodrati, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan merupakan
satu-satunya penentu, sebab pertama dan tujuan akhir segala sesuatu yang ada,
sehingga dengan demikian segala fikiran, tingkah laku dan perbuatan manusia
selalu diorientasikan kepada Tuhan, sejalan dengan dogma – dogma agama yang
dianut manusia.
2. Tahap
metafisik atau abstrak
Dengan berakhirnya tahap monoteisme,
maka berakhir pula tahap teologi atau fiktif. Hal ini disebabkan karena manusia
mulai merubah cara-cara berfikirnya, dalam usahanya untuk mencari dan menemukan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan gejala-gejala alam.
Dogma-dogma agama ditinggalkan, kemampuan akal budi dikembangkan. Tahap
metafisik menurut Auguste Comte merupakan tahap peralihan, walaupun dalam tahap
metafisik ini jiwa manusia masih menunjukkan hal-hal yang tidak berbeda dengan
apa yang dilakukan dalam tahap teologi, namun disini manusia sudah mampu
melepaskan diri dari kekuatan adikodrati, dan beralih pada kekuatan
abstraksinya. Pada saat inilah istilah ontologi mulai dipergunakan. Karena
itulah dalam tahap metafisik, jiwa manusia sering mengalami konflik, karena di
satu pihak pengaruh
Paradigma
Positivistik
Secara etimologis
historis, istilah dasar positif dikenal luas karena usaha keras filsuf Perancis
Auguste Comte. Dalam kerangka filsafat positivisme, pengetahuan manusia
dianggap bermakna jika dapat dicapai dan dibuktikan melalui pengamatan inderawi
empirik. Implikasi dari pernyataan itu berarti bahwa pengetahuan ilmiah pun
dianggap valid sejauh diperoleh melalui prosedur ketat ilmiah positivistik atau
melalui proses yang mengandalkan pada pengamatan-pengamatan dan
eksperimen-eksperimen yang bersifat empirik inderawi.
Menurut paradigma
positivisme, pengetahuan terdiri atas berbagai hipotesis yang diverifikasi dan dapat diterima sebagai fakta atau hukum. Ilmu pengetahuan
mengalami akumulasi melalui proses pertambahan secara bertahap, dengan
masing-masing fakta (fakta yang mungkin) berperan sebagai semacam bahan
pembentuk yang ketika ditempatkan dalam posisinya yang sesuai, menyempurnakan
bangunan pengetahuan yang terus tumbuh. Ketika faktanya berbentuk generalisasi
atau pertalian sebab-akibat, maka fakta tersebut bisa digunakan secara sangat
efisien untuk memprediksi dan mengendalikan. Dengan demikian generalisasi pun
bisa dibuat, dengan kepercayaan yang bisa diprediksikan.
Jika dilihat dari
tiga pilar keilmuan, ciri-ciri positivistik yaitu: (a) aspek ontologis,
positivistik menghendaki bahwa arealitas penelitian dapat dipelajari secara
independen, dapat dieliminasikan dari obyek lain dan dapat dikontrol; (b)
secara epistemologis, yaitu upaya untuk mencari generalisasi terhadap fenomena;
(c) secara aksiologis, menghendaki agar proses penelitian bebas nilai. Artinya,
peneliti mengejar obyektivitas agar dapat ditampilkan prediksi meyakinkan yang
berlaku bebas waktu dan tempat. Kevalidan penelitian positivisme dengan cara
mengandalkan studi empiri. Generalisasi diperoleh dari rerata di lapangan. Data
diambil berdasarkan rancangan yang telah matang, seperti kuesioner, inventori, sosiometri, dan sebagainya. Paham
positivistik akan mengejar data yang terukur, teramati, dan menggeneralisasi
berdasarkan rerata tersebut.
Kata kunci positivisme yang penting
adalah jangkauan yang bisa dibuktikan secara empirik (nyata) oleh pengalaman
indrawi (dilihat, diraba, didengar, diraba dan dirasakan). Misalnya: seseorang
pada akhirnya berkesimpulan dan itu “benar”, bahwa logam apapun jenisnya akan
memuai jika dipanaskan. Proses nalar tidak lain berlandaskan pada pengujian terhadap
berbagai jenis logam yang memuai saat dipanaskan. Penemuan bukti bahwa logam
tersebut dapat memuai dipandang sebagai kebenaran yang bersifat umum, berawal
pada peristiwa yang bersifat khusus. Pengambilan kesimpulan seperti ini disebut
sebagai penalaran induktif. Cara penalaran ini merupakan proses yang
diawali dari fakta-fakta pendukung yang spesifik, menuju ke arah yang lebih
umum untuk mencapai kesimpulan. Contoh lainnya: Ayam hitam yang kita amati
mempunyai hati. Ayam putih yang diamati juga mempunyai hati. Kesimpulannya
adalah setiap ayam mempunyai hati.
Filsafat positivistik memberikan
pengaruh yang nyata dalam mengkaji ilmu pengetahuan. Oleh karena itu,
pendekatan positivisme dipakai sangat luas dalam penelitian-penelitian dasar,
demikian juga penelitian di bidang pendidikan. Penganut positvistik sepakat
bahwa tidak hanya alam semesta yang bisa dikaji, melainkan fenomena sosial
termasuk pendidikan harus mencapai taraf objektifitas dan valid melalui metode
yang empirik. Dalam rangka mengkaji gejala/fenomena sebagai ilmu pengetahuan
ilmiah, positivisme memiliki pokok-pokok paradigma positivistik sebagai
berikut:
1.
Keyakinan bahwa suatu
teori memiliki kebenaran yang bersifat universal.
2.
Komitmen untuk
berusaha mencapai taraf “objektif” melalui fenomena.
3.
Kepercayaan bahwa
setiap gejala dapat dirumuskan dan dijelaskan mengikuti hukum sebab akibat.
4.
Kepercayaan bahwa
setiap variabel penelitian dapat diidentifikasikan, didefinisikan dan pada
akhirnya diformulasikan menjadi teori dan hukum.
Pendekatan Positivistik dalam Penelitian
Gejala alam maupun gejala sosial adalah
objek penelitian yang penting dikaji manusia untuk memperoleh manfaat
seluas-luasnya. Lebih jauh lagi, kenyataan di sekeliling manusia bisa
diformulasikan menjadi ilmu pengetahuan yang jelas dan terukur. Untuk
memperolah nilai kebermanfaatan, manusia melakukan pendekatan terhadap alam dan
lingkungan sosialnya. Sehingga manusia lebih memahami dan mengetahui aturan dan
hukum-hukum pada lingkungannya.
Positivistik bisa menjalankan peran
pendekatan ilmiah pada gejala lingkungan untuk diformulasikan menjadi
pengetahuan yang bemakna. Pengetahuan modern mengharuskan adanya kepastian
dalam suatu kebenaran. Sehingga, sebuah fakta dan gejala dapat dikumpulkan secara
sistematis dan terencana harus mengikuti asas yang terukur, terobservasi
dan diverifikasi. Dengan begini, pengetahuan menjadi bermakna dan sah
menurut tata cara positivistik.
Positivistik
sendiri sebenarnya merupakan sebuah paham penelitian. Istilah ini juga merujuk
pada sudut pandang tertentu, sehingga boleh disebut sebagai pendekatan. Paham penelitian positivistik berbau
statistik dan biasanya menolak pemahaman metafisik dan teologis. Bahkan, paham
positivistik sering menganggap bahwa pemahaman metafisik dan teologis terlalu
primitif dan kurang rasional. Artinya, kebenaran metafisik dan teologis
dianggap ringan dan kurang teruji. Singkat kata, positivistik lebih berusaha ke
arah mencari fakta atau sebab-sebab terjadinya fenomena secara objektif, terlepas
dari pandangan pribadi yang bersifat subjektif.
Tujuan penelitian
dengan pendekatan positivisme adalah menjelaskan yang pada akhirnya
memungkinkan untuk memprediksi dan mengendalikan fenomena, benda-benda fisik
atau manusia. Kriteria kemajuan puncak dalam paradigma ini adalah bahwa
kemampuan “ilmuwan” untuk memprediksi dan mengendalikan (fenomena) seharusnya
berkembang dari waktu ke waktu. Perlu dicermati reduksionisme dan determinisme
yang diisyaratkan dalam posisi ini. Peneliti terseret ke dalam peran “ahli”,
sebuah situasi yang tampaknya memberikan hak istimewa khusus, namun boleh jadi
justru tidak layak, bagi seorang peneliti.
Positivistik lebih
menekankan pembahasan singkat, dan menolak pembahasan yang penuh diskripsi cerita.
Peneliti yang akan menggunakan positivistik, harus berani membangun teori-teori
atau konsep dasar, kemudian disesuaikan dengan kondisi lapangan. Peneliti lebih
banyak berpikir induktif, agar menghasilkan verifikasi sebuah fenomena.
Penelitian positivistik menuntut pemisahan antara subyek peneliti dan obyek
penelitian sehingga diperoleh hasil yang obyektif. Kebenaran diperoleh melalui
hukum kausal dan korespondensi antar variabel yang diteliti. Karenanya, menurut
paham ini, realitas juga dapat dikontrol dengan variabel lain. Biasanya
peneliti juga menampilkan hipotesis berupa prediksi awal setelah membangun
teori secara handal.
Pendekatan positivistik mewarnai
paradigma dan mekanisme kegiatan ilmiah penelitian dalam rangka mencapai
kesimpulan yang bermakna sebagai pengetahuan. Nilai penting objektivitas dan
validitas pada suatu penelitian menjadi titik tolak mekanisme penelitian saat
ini. Suatu penelitian yang memiliki dasar positivistik memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
1.
Menekankan objektivitas
secara universal dan tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu.
2.
Menginterpretasi
variabel yang ada melalui peraturan kuantitas atau angka.
3.
Memisahkan peneliti
dengan objek yang hendak diteliti. Membuat jarak antara
peneliti dan yang diteliti, dimaksudkan agar tidak ada pengaruh atau
kontaminasi terhadap variabel yang hendak diteliti.
4.
Menekankan penggunaan
metode statistik untuk mencari jawaban permasalahan yang hendak diteliti.
Penelitian
dengan pendekatan positivisme menggunakan beberapa tahap yaitu: Pertama,
Pengajuan masalah umum berdasarkan rasional ilmiah tertentu. Kedua,
spesifikasi masalah ke dalam ruang lingkup yang lebih khusus serta diikuti
pengembangan hipotesis berdasarkan kerangka teoritik tertentu. Untuk
menjawab masalah umun dan menjawab hipotesis dilakukan tahap ketiga
yaitu, pembuatan jenis rancangan penelitian yang relevan untuk menjawab
permasalahan umum dan menguji hipotesis yang telah disusun. Jenis rancangan
penelitian dapat bermacam-macam seperti kuasi eksperimen, eksperimen, survei, ex
post facto, analisis basis data dan rekaman. Langkah keempat
adalah pengumpulan data. Alat pengumpulan yang digunakan menggunakan wawancara
terstruktur, pengamatan terkontrol, dan memakai angket. Secara umum data
penelitian dalam kerangka positivistik terwujud pada pola-pola yang bersifat
kuantitatif. Kelima, tahap terakhir berupa analisis data yang diperolah.
Seperti pada penelitian ilmu alam, teknik analisis yang digunakan bersifat
statistik matematis seperti analisis faktor, analisis jalur, analisis kanonik,
analisis diskriminan atau bahkan sampai pada teknik analisis yang paling
canggih seperti meta-analisis. (kerlinger,1986)
Penelitian Kuantitatif dengan
Pendekatan Positivistik
Penelitian kuantitatif adalah
penelitian ilmiah yang sistematis terhadap bagian-bagian dan fenomena serta
hubungan-hubungannya. Tujuan penelitian kuantitatif adalah mengembangkan dan
menggunakan model-model matematis, teori-teori dan/atau hipotesis yang
berkaitan dengan fenomena alam. Proses pengukuran adalah bagian yang sentral
dalam penelitian kuantitatif karena hal ini memberikan hubungan yang
fundamental antara pengamatan empiris dan ekspresi matematis dari
hubungan-hubungan kuantitatif. Penelitian kuantitatif banyak dipergunakan baik
dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, dari fisika dan biologi hingga
sosiologi dan jurnalisme.
Menurut positivisme, ilmu yang valid
adalah ilmu yang dibangun dari empirik. Dengan pendekatan positivisme dalam
metodologi penelitian kuantitatif, menuntut adanya rancangan penelitian yang
menspesifikkan objeknya secara eksplisit, dipisahkan dari objek-objek lain yang
tidak diteliti. Metode penelitian kuantitatif merupakan pendekatan
penelitian yang mewakili paham positivistik. Metodologi penelitian kuantitatif
mempunyai batasan-batasan pemikiran yaitu: korelasi, kausalitas, dan
interaktif; sedangkan objek data, ditata dalam tata pikir kategorisasi,
interfalisasik dan kontinuasi. (Muhadjir,2008 : 12).
Penelitian kuantitatif menggunakan alur
pemikiran positivisme untuk mengkaji hal-hal yang ditemui di lapangan, tentunya
sebelum melakukan penelitian maka kasus atau masalah yang akan diteliti sudah
terlebih dahulu digolongkan masuk ke kuantitatif atau kualitatif,sehingga dalam
proses selanjutnya peneliti tingggal melakukan riset dengan mengedepankan alur
pemikiran yang tepat.
Dalam metode kuantitatif, setiap
event/peristiwa sosial mengandung elemen-elemen tertentu yang berbeda-beda dan
dapat berubah. Elemen-elemen dimaksud disebut dengan variabel. Variabel dari setiap
even/case, baik yang melekat padanya maupun yang mempengaruhi/dipengaruhinya,
cukup banyak, karena itu tidak mungkin menangkap seluruh variabel itu secara
keseluruhan. Atas dasar itu, dalam penelitian kuantitatif ditekankan agar obyek
penelitian diarahkan pada variabel-variabel tertentu saja yang dinilai paling
relevan. Jadi, di sini paradigma kuantitatif cenderung pada pendekatan
partikularistis. Jadi hubungannya terletak pada penggunaan paradigma
positivis dalam menyusun kerangka penelitian kuantitatif.
Filosofi penelitian dikembangkan oleh
filsafat positivisme dapat dijelaskan dari unsur-unsur dalam filsafat secara umum,
yaitu :
1. Ontologi
(materi) merupakan unsur dalam pengembangan filsafat sebagai ilmu yang
membicarakan tentang obyek (materi) kajian suatu ilmu. Dalam hal ini,
penelitian kuantitatif akan meneliti sasaran penelitian yang berada dalam
kawasan dunia empiri.
2. Epistimologi
(metode) merupakan unsur dalam pengembangan ilmu filsafat yang membicarakan
bagaimana metode yang ditempuh dalam memperoleh kebenaran pengetahuan.
3. Aksilogi
(nilai). Dalam hal ini penelitian kuantitatif menjunjung tinggi nilai keilmuan
yang obyektif yang berlaku secara umum dan mengesampingkan hal-hal yang
bersifat spesifik.
Acuan filosofik dasar metodologi penelitian positivistik
kuantitatif adalah sebagai berikut:
1.
Acuan hasil
penelitian terdahulu
Sesuai
dengan filsafat ilmunya, positivisme tunduk kepada bukti kebenaran empirik,
maka sumber pustaka yang perlu dicari adalah “bukti empirik hasil-hasil
penelitian terdahulu”.
2.
Analisis, sintesis
dan refleksi
Metodologi
positivistik menuntut dipilahnya analisis dari sintesis. Dituntut data
dikumpulkan, dianalisis, barulah dibuat kesimpulan atau sintesis.
3.
Fakta obyektif
a. Variabel
Dalam
penelitian positivistik kebenaran dicari dengan mencari hubungan relevan antara
unit terkecil jenis satu dengan unit terkecil jenis lain.
b. Eliminasi data
Cara
berfikir positivistik adalah meneliti sejumlah variabel dan mengeliminasi
variabel yang tidak teliti.
c. Uji reliabilitas, validitas instrument
dan validitas butir
Penelitian positivistik menuntut data
obyektif. Obyektif dalam paradigma kuantitatif diwujudkan dalm uji kualitas
instrumennya yang disebut uji reliabilitas dan validitas instrumennya. Dari uji
validitas instrumen tersebut berarti instrumen tersebut dapat dipakai untuk
mengumpulkan data yang obyektif. Kualitas instrumen lebih tinggi lagi dapat
diuji lebih lanjut lewat uji validitas setiap soalnya atau uji validitas
butirnya. Uji validitas butir diuji daya diskriminasi dan tingkat kesukarannya.
4.
Argumentasi
a. Fungsi parameter
Sejumlah
variabel diuji pengaruhnya dengan teknik uji relevansi atau korespondensi antar
sejumlah variabel. Uji korespondensi hanya membuktikan hubungan paralel antar
banyak variabel (bukan sebab-akibat).
b. Populasi
Subyek
penelitian adalah subyek pendukung data, subyek yang memiliki data yang
diteliti.
c. Wilayah atau penelitian
Membahas lingkungan yang memberi gambaran
latar belakang atau suatu lingkungan khusus yang dapat memberi warna lain pada
populasi yang sama.
5.
Realitas
a.
Desain standar
Kerangka
berfikir hubungan variabel-variabelnya harus jelas, dirancang hipotesis yang
dibuktikan termasuk dirancang instrumen pengumpulan datanya yang teruji
validitas instrumennya dan juga validitas butir soalnya dan dirancang teknik
analisis.
b. Uji
kebenaran
Realitas
dalam paradigma kuantitatif obyektif adalah kebenaran sesuai signifikansi
statistik dan pemaknaannya juga sebatas teknik uji yang digunakan. Unsur-unsur data untuk uji kebenaran menyangkut melihat antara lain jumlah
subyeknya, jenis datanya, distribusi datanya, mean, simpangan bakunya dan
teknik uji korelasinya.
Realitas atau
kebenaran yang diakui dalam positivistik sebatas obyek yang diteliti dan seluas
populasi penelitiannya dan dijamin oleh teknik pengumpulan data, teknik
analisis, dan penetapan populasi.
Kritik Positivistik
Kritik paling umum
yang dibuat dan diterima di kalangan ilmuwan sosial adalah kritik seputar perluasan metode-metode ilmiah dalam wilayah
kehidupan sosial manusia. Kelompok anti positivis yang menggunakan garis
argumen ini menegaskan bahwa antara kehidupan sosial manusia dan fakta alam
yang menjadi pokok kajian ilmu-ilmu alam terdapat perbedaan mendasar.
Perbedaannya adalah bahwa tingkah laku manusia tidak dapat diramalkan
(unpredictable) yang disebabkan oleh tiga faktor:
1.
Kehendak bebas manusia yang unik
2.
Karakter hidup sosial yang tunduk aturan dan bukan tunduk
hukum
3.
Peran kesadaran dan makna dalam kehidupan sosial
Dilihat secara
ontologik, positivisme lemah dalam hal membangun konsep teoretik, dengan
konsekuensi konseptualisasi teoretik ilmu yang dikembangkan dengan metode yang
melandaskan pada positivisme menjadi tidak jelas. Sehingga ilmu-ilmu yang dikembangkan dengan metodologi
yang berlandaskan positivisme (ilmu-ilmu sosial) menjadi semakin miskin
konseptualisasi dan tidak memunculkan teori-teori baru yang mendasar. Sebagai
akibatnya, banyak ilmu sosial mengalami stagnasi.
KUANTITATIF
- Realitas bersifat obyektif dan berdimensi tunggal
- Peneliti independen terhadap fakta yang diteliti
- Bebas nilai dan tidak bias
- Pendekatan deduktif
- Pengujian teori dan analisis kuantitatif
KUALITATIF
- Realitas bersifat subyektif dan berdimensi banyak
- Peneliti berinteraksi dengan fakta yang diteliti
- Tidak bebas nilai dan bias
- Pendekatan induktif
- Penyusunan teori dengan analisis kualitatif
SUMBER
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara,
Suwardi.2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press
Muhadjir,
Noeng. 2007. Metodologi Keilmuan. Yogyakarta : Penerbit Rake Sarasin
Muhadjir,
Noeng. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Penerbit Rake
Sarasin
Muhadjir,
Noeng. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Penerbit Rake Sarasin
Sukardi.
2011. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Penerbit Bumi Aksara
Hamami,
Tasman, et al. 2005. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan
Kalijaga
Denzin,
Norman K, et al. 2009. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar
Slamet,
Yulius . 2008 . Pengantar Penelitian Kuantitatif. Surakarta : LPP UNS dan UNS
Press
Widodo,
T. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif. Surakarta : LPP UNS