KAIDAH PIKIR


Kaidah-Kaidah Berpikir [Laws of thought]
Posted on Maret 22, 2014 by m4lobo
Logika adalah aturan-aturan yang menjadi dasar atau patokan dasar dalam berpikir atau kaidah berpikir untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran yang bernilai benar.  John Stuart Mill (1806-1873) menyebutnya “Dalil Penalaran Universal” atau Universal Postulates of All Reasonings.   Friederich Uberweg (1826-1871) menamainya “Aksioma Penyimpulan” atau Axioms of Inference.
Universal postulate of all reasoning atau Axioms of Inference ini disebut demikian karena memiliki eksistensi dan kebenarannya bersifat kekal, absolut dan universal. Banyak orang menyangka logika diciptakan oleh Aristoteles.  Ini benar jika yang dimaksudkan adalah istilah logika-nya bukan kaidah-kaidahnya.  Artinya, Aristoteles hanyalah penemu adanya pola-pola tertentu dalam berpikir yang ternyata mengacu kepada kaidah-kaidah ini.  Mungkin bisa dianalogikan dengan Newton yang menemukan hukum gravitasi, bukan pencipta gravitasi.
Dalam bidang teologi kristen, kebenaran Allah menurut Alkitab memiliki natur yg sama dengan logika yaitu kekal, absolut dan universal. Oh ya, logika disebut kekal karena teridentifikasi sudah digunakan Allah ketika menciptakan alam semesta ini, misalnya ketika Dia menciptakan terang (siang) yang tidak bisa menyatu dengan gelap (malam).  Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa hukum logika adalah refleksi dari natur Allah sendiri. Karena itu, seorang fisluf kristen terkenal, Gordon H. Clark (1902-1985), menyatakan, “the well-known prologue to John’s Gospel may be paraphrased, “In the beginning was Logic, and Logic was with God, and Logic was God…. In logic was life and the life was the light of men.”.  Dan, karena manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah, maka manusia dapat berpikir sesuai dan seturut aturan-aturan dalam logika, yaitu seturut refleksi natur Allah yang ada dalam diri kita sebagai imago dei.  Namun, dosa membuat konsistensi manusia menggunakan logika menjadi rusak.  Sehingga tidak heran jika saat ini, manusia bukan saja tidak mampu menggunakan logika secara konsisten, tapi juga tidak peduli dengan logika. Bahkan sangat banyak orang beriman menganggap logika merupakan sesuatu yang buruk karena bersifat kedagingan (manusiawi) bukan rohaniah (ilahi).
Postulat universal penalaran atau aksioma inferensi ada 4 jenis, 3  postulat yang pertama ditemukan oleh Aristoteles (344SM-322SM) sementara yang ke 4 diperkenalkan oleh G.W. Leibniz (1646-1716).  Keempat kaidah logika ini ringkasnya adalah demikian:
1. Principium Identatis (Law of Identity)
Hukum kesamaan adalah kaidah pemikiran yang menyatakan bahwa sesuatu hanya sama dengan “sesuatu itu sendiri.”  Jika sesuatu itu p maka p identik dengan p, atau p adalah p.  Dapat pula dikatakan: jika p maka p dan akan tetap p.  Apel ya apel, dan apel hanya bisa di-identik-kan dengan apel, tidak mungkin dengan yang bukan apel.
2. Principium Contradictionis (Law of Contradiction)
Hukum kontradiksi adalah kaidah berpikir yang menyatakan bahwa tidak mungkin sesuatu pada relasi dan waktu yang sama adalah “sesuatu itu dan bukan sesuatu itu”.   A tidak mungkin sekaligus ~A [negasi A] pada relasi dan waktu yang sama.  Mustahil pada relasi dan waktu bersamaan ada manusia yang sekaligus bukan manusia.
Sir William Hamilton (1788-1856) menyebut hukum ini sebagai hukum tiada pertentangan (Law of No Contradiction) karena kaidah itu menegaskan bahwa tidak boleh ada sesuatu yang pada relasi dan waktu yang sama saling bertentangan.  Mustahil seseorang pada relasi dan waktu yang sama, setuju sekaligus tidak setuju terhadap sesuatu.
3. Principium Exclusi Tertii (Law of Excluded Middle)
Hukum penyisihan jalan tengah adalah kaidah yang menjelaskan bahwa sesuatu itu pasti memiliki suatu sifat tertentu atau tidak memiliki sifat tertentu itu, dan tidak ada kemungkinan lain.  Jadi p = q atau p  q.   Suatu kebenaran ditentukan dengan melihat bahwa pasti ada nilai benar atau sebaliknya tidak ada nilai benar padanya, tidak ada kemungkinan lain lagi.
4. Principium Rationis Sufficientis (Law of Sufficient Reason)
Bahwa jika terjadi perubahan pada sesuatu, perubahan itu haruslah berdasarkan pada alasan-alasan rasional yang cukup.  Itu berarti tidak ada perubahan yang terjadi dengan tiba-tiba tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.  Hukum ini merupakan pelengkap bagi hukum identitas.
SOURCE: https://m4lobo.wordpress.com/2014