Perkembangan Filsafat Ilmu
Secara umum dapat dikatakan bahwa sejak perang
dunia ke 2, yang telah menghancurkan kehidupan manusia, para Ilmuwan makin
menyadari bahwa perkembangan ilmu dan pencapaiannya telah mengakibatkan banyak
penderitaan manusia, ini tidak terlepas dari pengembangan ilmu dan teknologi
yang tidak dilandasi oleh nilai-nilai moral serta komitmen etis dan agamis pada
nasib manusia , padahal Albert Einstein pada tahun 1938 dalam pesannya pada
Mahasiswa California Institute of Technology mengatakan “Perhatian kepada
manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan perhatian pada masalah
besar yang tak kunjung terpecahkan dari pengaturan kerja dan pemerataan benda,
agar buah ciptaan dari
pemikiran kita akan merupakan berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan (Jujun S Suriasumantri, 1999 : 249 ).
pemikiran kita akan merupakan berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan (Jujun S Suriasumantri, 1999 : 249 ).
Akan tetapi penjatuhan bom di Hirosima dan Nagasaki tahun 1945 menunjukan bahwa perkembangan iptek telah mengakibatkan kesengsaraan manusia , meski disadari tidak semua hasil pencapaian iptek demikian, namun hal itu telah mencoreng ilmu dan menyimpang dari pesan Albert Einstein, sehingga
hal itu telah menimbulkan keprihatinan filosof tentang arah kemajuan peradaban manusia sebagai akibat perkembangan ilmu (Iptek) .
Untuk itu nampaknya para filosof dan ilmuan perlu
merenungi apa yang dikemukakan Harold H Titus dalam bukunya Living Issues in
Pilosophy (1959), beliau mengutif beberapa pendapat cendikiawan seperti
Northrop yang mengatakan “ it would seem that the more civilized we become ,
the more incapable of maintaining civilization we are”, demikian juga
pernyataan Lewis Mumford yang berbicara tentang “the invisible breakdown in our
civiliozation : erosion of value, the dissipation of human purpose, the denial
of any dictinction between good and bad, right or wrong, the reversion to sub
human conduct” (Harold H Titus, 1959 : 3)
Ungkapan tersebut di atas hanya untuk menunjukan
bahwa memasuki dasawarsa 1960-an kecenderungan mempertanyakan manfaat ilmu
menjadi hal yang penting, sehingga pada periode ini (1960-1970) dimensi
aksiologis menjadi perhatian para filosof, hal ini tak lain untuk meniupkan ruh
etis dan agamis pada ilmu, agar pemanfaatannya dapat menjadi berkah bagi
manusia dan kemanusiaan , sehingga telaah pada fakta empiris berkembang ke
pencarian makna dibaliknya atau seperti yang dikemukakan oleh Prof. Dr. H.
Ismaun, M.Pd (2000 : 131) dari telaah positivistik ke telaah meta-science yang
dimulai sejak tahun 1965.
Memasuki tahun 1970-an , pencarian makna ilmu mulai
berkembang khususnya di kalangan pemikir muslim , bahkan pada dasawarsa ini
lahir gerakan islamisasi ilmu, hal ini tidak terlepas dari sikap apologetik
umat islam terhadap kemajuan barat, sampai-sampai ada ide untuk melakukan
sekularisasi, seperti yang dilontarkan oleh Nurcholis Majid pada tahun 1974
yang kemudian banyak mendapat reaksi keras dari pemikir-pemikir Islam seperti
dari Prof. H.M Rasyidi dan Endang Saifudin Anshori.
Mulai awal tahun 1980-an, makin banyak karya
cendekiawan muslim yang berbicara tentang integrasi ilmu dan agama atau
islamisasi ilmu, seperti terlihat dari berbagai karya mereka yang mencakup
variasi ilmu seperti karya Ilyas Ba Yunus tentang Sosiologi Islam, serta
karya-karya dibidang ekonomi, seperti karya Syed Haider Naqvi Etika dan Ilmu
Ekonomi, karya Umar Chapra Al Qur’an, menuju sistem moneter yang adil, dan
karya-karya lainnya , yang pada intinya semua itu merupakan upaya penulisnya
untuk menjadikan ilmu-ilmu tersebut mempunyai landasan nilai islam.
Memasuki tahun 1990-an , khususnya di Indosesia
perbincangan filsafat diramaikan dengan wacana post modernisme, sebagai suatu
kritik terhadap modernisme yang berbasis positivisme yang sering mengklaim
universalitas ilmu, juga diskursus post modernisme memasuki kajian-kajian
agama.
Post modernisme yang sering dihubungkan dengan
Michael Foccault dan Derrida dengan beberapa konsep/paradigma yang kontradiktif
dengan modernisme seperti dekonstruksi, desentralisasi, nihilisme dsb, yang
pada dasarnya ingin menempatkan narasi-narasi kecil ketimbang narasi-narasi
besar, namun post modernisme mendapat kritik keras dari Ernest Gellner dalam
bukunya Post modernism, Reason and Religion yang terbit pada tahun1992. Dia
menyatakan bahwa post modernisme akan menjurus pada relativisme dan untuk itu
dia mengajukan konsep fundamentalisme rasionalis, karena rasionalitas merupakan
standar yang berlaku lintas budaya.
Disamping itu gerakan meniupkan nilai-nilai agama
pada ilmu makin berkembang, bahkan untuk Indonesia disambut hangat oleh ulama dan
masyarakat terlihat dari berdirinya BMI, yang pada dasarnya hal ini tidak
terlepas dari gerakan islamisasi ilmu, khususnya dalam bidang ilmu ekonomi.
Dan pada periode ini pula teknologi informasi
sangat luar biasa , berakibat pada makin pluralnya perbincangan/diskursus
filsafat, sehingga sulit menentukan diskursus mana yang paling menonjol, hal
ini mungkin sesuai dengan apa yang digambarkan oleh Alvin Tofler sebagai The
third Wave, dimana informasi makin cepat memasuki berbagai belahan dunia yang
pada gilirannya akan mengakibatkan kejutan-kejutan budaya tak terkecuali bidang
pemikiran filsafat.
Meskipun nampaknya prkembangan Filsafat ilmu erat
kaitan dengan dimensi axiologi atau nilai-nilai pemanfaatan ilmu, namun dalam
perkembangannya keadaan tersebut telah juga mendorong para akhli untuk lebih
mencermati apa sebenarnya ilmu itu atau apa hakekat ilmu, mengingat dimensi
ontologis sebenarnya punya kaitan dengan dimensi-dimensi lainnya seperti
ontologi dan epistemologi, sehingga dua dimensi yang terakhir pun mendapat
evaluasi ulang dan pengkajian yang serius.
Diantara tonggak penting dalam bidang kajian ilmu
(filsafat ilmu) adalah terbitnya Buku The Structure of Scientific Revolution
yang ditulis oleh Thomas S Kuhn, yang untuk pertama kalinya terbit tahun 1962,
buku ini merupakan sebuah karya yang monumental mengenai perkembangan sejarah
dan filsafat sains, dimana didalamnya paradigma menjadi konsep sentral,
disamping konsep sains/ilmu normal. Dalam pandangan Kuhn ilmu pengetahuan tidak
hanya pengumpulan fakta untuk membuktikan suatu teori, sebab selalu ada anomali
yang dapat mematahkan teori yang telah dominan.
Pencapaian-pencapaian manusia dalam bidang
pemikiran ilmiah telah menghasilkan teori-teori, kemudian teori-teori
terspesifikasikan berdasarkan karakteristik tertentu ke daLam suatu Ilmu. Ilmu
(teori) tersebut kemudian dikembangkan , diuji sehingga menjadi mapan dan
menjadi dasar bagi riset-riset selanjutnya , maka Ilmu (sains) tersebut menjadi
sains normal yaitu riset yang dengan teguh berdasar atas suatu pencapaian
ilmiah yang lalu, pencapaian yang oleh masyarakat ilmiah tertentu pada suatu
ketika dinyatakan sebagai pemberi fundasi bagi praktek (riset) selanjutnya (
Thomas S Kuhn, 2000 :10 ) .
Pencapaian pemikiran ilmiah tersebut dan
terbentuknya sains yang normal kemudian menjadi paradigma, yang berarti “apa
yang dimiliki bersama oleh anggota suatu masyarakat sains dan sebaliknya
masyarakat sains terdiri atas orang yang memiliki suatu paradigma tertentu (
Thomas S Kuhn, 2000 : 171 ). Paradigma dari sains yang normal kemudian
mendorong riset normal yang cenderung sedikit sekali ditujukan untuk
menghasilkan penemuan baru yang konseptual atau yang hebat (. Thomas S Kuhn,
2000 : 134 ). Ini berakibat bahwa sains yang normal, kegunaannya sangat
bermanfaat dan bersifat kumulatif. Teori yang memperoleh pengakuan sosial akan
menjadi paradigma, dan kondisi ini merupakan periode ilmu normal. Kemajuan ilmu
berawal dari perjuangan kompetisi berbagai teori untuk mendapat pengakuan
intersubjektif dari suatu masyarakat ilmu. Dalam periode sain normal ilmu
hanyalah merupakan pembenaran-pembenaran sesuai dengan asumsi-asumsi paaradigma
yang dianut masyarakat tersebut, ini tidak lain dikarenakan paradigma yang
berlaku telah menjadi patokan bagi ilmu untuk melakukan penelitian, memecahkan
masalah, atau bahkan menyeleksi masalah-masalah yang layak dibicarakan dan
dikaji