Apakah Pengetahuan Itu?
Manusia bersifat ingin tahu. Melalui
pengamatan terhadap lingkungan dan pengalaman berinteraksi dengan lingkungan,
manusia mengkonstruksi pengetahuan (knowledge) dalam benaknya, untuk
memuaskan keingintahuannya. Dengan pengetahuan itu selanjutnya manusia dapat
membuat keputusan-keputusan yang menguntungkan. Sebagai contoh, manusia
menggunakan bahan aluminium untuk rangka jendela, karena tahu bahwa aluminium
relatif ringan dan sukar berkarat.
Orang yang tahu disebut mempunyai
pengetahuan. Jadi pengetahuan sesungguhnya adalah hasil tahu, serta pengetahuan
adalah segala sesuatu yang diketahui. Nasution (1988) menyatakan bahwa
pengetahuan sebagai hasil naluri ingin tahu. Keingintahuan manusia tidak
terpuaskan ketika manusia sekedar memperoleh pengetahuan, melainkan lebih jauh
ingin memiliki pengetahuan yang benar. Hal ini menyebabkan lahirnya pemikiran
tentang kriteria kebenaran pengetahuan dan bagaimana mencapai kebenaran yang
hakiki.
Terdapat dua jenis pengetahuan, yakni
pengetahuan khusus dan pengetahuan umum (Poedjawijatna, 1991). Pengetahuan
khusus ialah berkenaan dengan satu fakta, misalnya logam tembaga menghantarkan
panas, yang berlaku hanya untuk tembaga. Sementara itu terdapat pengetahuan
yang berlaku umum sebagai kesimpulan dari sejumlah faka, misalnya logam
menghantar panas, yang berlaku untuk semua logam tidak mempersoalkan jenis
logam apa.
Baik pengetahuan umum maupun
pengetahuan khusus, keduanya menjadi milik manusia berlandaskan pengalaman,
entah pengalaman dirinya atau pengalaman orang lain (Poedjawijatna, 1991).
Ajaran empirisme menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman
empiris manusia (Latif, 2014). Namun demikian, pembentukan pengetahuan
dalam diri seseorang pun memerlukan penarikan kesimpulan dengan penalaran yang
dipandu oleh logika. Dalam konteks ini, Rene Descartes menyatakan bahwa
pengetahuan yang sejati tentang alam semesta ini hanya dapat diperoleh lewat
penalaran yang dituntun oleh logika (Latif, 2014)
Keterbatasan daya pengamanatan empiris
manusia bisa menimbulkan kesalahan manusia dalam mengkonstruksi pengetahuan
yang didapatnya. Selain itu kesalahpahaman seringkali terjadi juga ketika
pengetahuan dikomunikasikan oleh seseorang kepada orang lain. Pengetahuan
seperti itu diterima individu atas dasar kewibawaan penyampainya, dan
adakalanya bukan merupakan kebenaran. Sebelum memperoleh verifikasi secara
ilmiah, pengetahuan baru mencapai tingkat “kepercayaan (belief)”
yang belum pasti kebenarannya (Soetriono & Hanafie, 2007).
Pengetahuan yang benar harus memenuhi
kriteria kebenaran ilmiah. Suriasumantri (2010) memaparkan teori kebenaran
ilmiah, yang melandaskan kebenaran pada tiga kriteria, yakni korespondensi,
koherensi, dan pragmatisme. Menurut teori korespondensi (dipelopori Bertrand
Russell) suatu pernyataan adalah benar jika berkorenspondensi (bersesuaian)
dengan obyek yang dituju oleh pernyataan itu (faktual). Pengetahuan yang
benar ditunjang oleh fakta-fakta empiris. Menurut teori koherensi (dipelopori
Plato dan Socrates), suatu pernyataan dianggap benar jika pernyataan itu
koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dipandang
sebagai kebenaran. Menurut teori pragmatisme (dipelopori Wiliam James dan John
Dewey), kebenaran suatu pernyataan ditinjau dari kriteria apakah pernyataan
tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Suatu pernyataan dapat
dipandang benar jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu
mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.
Apakah Ilmu Itu?
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996)
mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun
secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala-gejala tertentu pula. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
ilmu ialah susunan berbagai pengetahuan secara berstruktur untuk satu bidang
tertentu. Ilmu (science) mengorganisasikan pengetahuan-pengetahuan ilmiah
(konsep, prinsip, hukum, prosedur, dan teori) ke dalam struktur yang logis dan
sistematis.
Dipercayai bahwa kelahiran pengetahuan
ilmiah bersamaan dengan kelahiran filsafat, manakala pengetahuan diformulasi
berdasarkan temuan empiris dan pemikiran logis dan rasional serta terbebas dari
mitos-mitos. Pada awal perkembangan ilmu (masih didominasi oleh
spekulasi-spekulasi), fisuf dapat juga dipandang sebagai ilmuwan, sehingga
mereka layak disebut sebagai ahli filsafat alam (natural philosophy).
Sebagai contoh, Hipocrates (460-370 BC) adalah filsuf yang juga ahli ilmu
kedokteran, Aristoteles (284-322 BC) adalah filsuf yang juga penyelidik
mahluk-mahluk hidup laut, dan Democritus (470-380 BC) yang terkenal dengan
pemikiran tentang atom (atomos) sebagai unit terkecil dari materi. Dalam
perkembangan selanjutnya, disiplin-disiplin ilmu menjadi semakin
berdiri-sendiri yang terpisah dari filsafat, seiring dengan semakin kuatnya
penggunaan landasan empiris dan kuantitatif serta metode ilmiah, khususnya
eksperimen, dalam pengkajian-pengkajian terhadap fenomena alam.
Dewasa ini terdapat perbedaan yang
jelas antara ilmu dan filsafat. Ilmu bersifat aposteriori, kesimpulan
ditarik setelah melakukan pengujian empiris secara berulang-ulang. Filsafat
bersifat apriori, kesimpulan ditarik tanpa pengujian, sebab terbebas
dari pengalaman inderawi apapun. Ilmu bersifat empirik, sedangkan fisafat
bersifat spekulatif. Kesamaan antara ilmu dan filsafat ialah keduanya
menggunakan aktivitas berpikir, walaupun cara berpikir ilmuwan berbeda dengan
cara berpikir filsuf
Semakin lama fenomena yang disadari
menarik dan penting untuk dikaji semakin beragam. Situasi ini mendorong
pengkhususan kajian yang dilakukan para ilmuwan, dalam disiplin ilmu spesifik.
Setiap disiplin ilmu selanjutnya menfokuskan kajian pada wilayah kajian
spesifik dan mengembangkan asumsi, pola pikir, dan pendekatan yang spesifik
pula. Oleh karenanya cabang-cabang ilmu semakin terspesialisasi, dan semakin
sukar berinteraksi satu sama lain (Bakhtiar, 2004).
Pada dasarnya ilmu mempunyai “obyek
material” dan “obyek formal”. Obyek material merujuk pada sasaran penyelidikan.
Sasaran penyelidikan dalam pelbagai disiplin ilmu dapat saja sama, seperti
misalnya manusia yang menjadi sasaran penyelidikan psikologi, pendidikan, biologi,
ilmu sosial, dll. Namun demikian, sudut pandang, pendekatan dan metode
penyelidikan disiplin ilmu-ilmu tersebut terhadap manusia berbeda-beda. Setiap
disiplin ilmu mempunyai obyek formal tertentu, yang membedakan satu sama lain
dalam melakukan kajian terhadap obyek material yang sama. Obyek formal suatu
disiplin ilmu berhubungan dengan sudut pandang, pendekatan, metode khas yang
dilakukan oleh ilmuwan dalam disiplin itu. Perbedaan obyek formal psikologi,
biologi, ilmu sosial terhadap manusia, membedakan pengetahuan-pengetahuan yang
dikumpulkan dan diorganisir dalam masing-masing disiplin tersebut. Ilmu-ilmu
berbeda-beda bukan terutama karena obyek material berbeda, tetapi khususnya
karena masing-masing berbeda menurut obyek formalnya (Van Melsen, 1985).
Apakah Ilmu Berbeda
dari Ilmu Pengetahuan?
Ungkapan “ilmu pengetahuan” lazim
digunakan yang wacana sehari-hari. Ungkapan ini digunakan juga dalam memberi
nama fakultas di perguruan tinggi. Dalam konteks ini Suriasumantri (2009)
berpendapat bahwa ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan
metode keilmuan (metode ilmiah), sehingga ilmu dapat disebut sebagai
pengetahuan ilmiah. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa agar tidak terjadi
kekacauan antara pengertian “ilmu (science)” dan pengetahuan (knowledge)
maka lebih menguntungkan apabila kita menggunakan istilah “ilmu” daripada “ilmu
pengetahuan”.
Dalam konteks peristilahan ilmu
pengetahuan, Soetriono dan Hanafie (2007) memandang ada dua jenis pengetahuan,
yakni “pengetahuan biasa” dan “pengetahuan ilmiah (ilmu)”. Pengetahuan yang
digunakan awam untuk kehidupan sehari-hari tanpa mengetahui seluk-beluk yang
sedalam-dalamnya dinamakan pengetahuan biasa. Jenis pengetahuan lain, yakni
pengetahuan yang merupakan hasil telaahan yang mendalam oleh ilmuwan, yang disebut
sebagai “ilmu pengetahuan”. Jadi, pada dasarnya ilmu pengetahuan bermakna
sama dengan ilmu. Penggunaan istilah ilmu pengetahuan semata-mata untuk
menegaskan sifat keilmiahan ilmu tersebut, sekaligus membedakannya dengan
ilmu-ilmu lainnya yang tidak memenuhi kriteria keilmiahan
pengetahuan-pengetahuan penyusunnya.
Apakah Filsafat Ilmu
Itu?
Suriasumantri (2010) menyatakan bahwa
filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang hendak menjawab pertanyaan
mengenai hakikat ilmu, baik ditinjau dari sudut ontologi, epistemologi, dan
aksiologi. Telaahan filsafat ilmu dilakukan melalui proses dialektika secara
mendalam (radikal), sistematis, dan spekulatif. Pertanyaan-pertanyaan
mengenai hakikat ilmu menyangkut obyek apa yang ditelaah ilmu (landasan
ontologi), bagaimana memperoleh pengetahuan (landasan epistemologi), dan
bagaimana ilmu digunakan (landasan aksiologi). Aspek ontologi ilmu meliputi
bagaimana wujud hakiki dari obyek itu dan hubungan antara obyek tersebut
dengan daya tangkap manusia (berpikir dan mengidera) yang membuahkan
pengetahuan. Aspek epistemologi ilmu mencakup sumber pengetahuan, prosedur
menggali pengetahuan secara ilmiah, kriteria kebenaran ilmiah. Aspek aksiologi
ilmu bertalian dengan kaidah moral dalam penggunaan ilmu.
Filsafat ilmu ialah salah satu cabang
filsafat. Sesuai dengan kekhasan filsafat, kajian filsafat ilmu pun bersifat
mendasar, universal, konseptual, dan spekulatif. Kini filsafat ilmu telah
berkembang sebagai suatu ilmu (Latif, 2014), yang mempunyai obyek material
pengetahuan ilmiah (scientific knowledge), dan obyek formal
problem-problem mendasar dari ilmu.
Problem-problem mendasar dari ilmu
antara lain: Hakikat ilmu (the nature of science), metode ilmiah
(scientific method), kebenaran ilmiah (scientific truth),
penalaran ilmiah (scientific reasoning), eksplanasi ilmiah (scientific
explanation), teori ilmiah (scientific theory), revolusi pengetahuan
ilmiah (scientific revolution), realisme sains (scientific realism),
keterbatasan sains (limitation of science), dan implikasi
moral-etis dari aplikasi pengetahuan ilmiah (social-moral implication of
science). Aspek-aspek filsafat ilmu ini menjadi bahan kajian (subject
matter) utama dalam matakuliah filsafat ilmu.
Rujukan
Bakhtiar, A. (2004). Filsafat ilmu.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1996). Jakarta: Balai Pustaka
Latif, M. (2014). Orientasi ke arah
pemahaman filsafat ilmu. Jakarta: Kencana.
Nasution, A. H. (1988). Pengantar ke
filsafat sains. Bogor: Litera Antar Nusa.
Poedjawijatna, I. R. (1991). Tahun
dan Pengetahuan: Pengantar ke ilmu dan filsafat. Jakarta: Rineka Cipta.
Soetriono & Hanafie, R. (2007). Filsafat
ilmu dan metodologi penelitian. Yogyakarta: Andi.
Suriasumantri, J. S. (2010). Filsafat
ilmu: Sebuah pengantar popular. Jakarta: Sinar Harapan.
Van Melsen, A. G. M. (1985). Ilmu
pengetauan dan tanggun jawab kita. Jakarta: Gramedia.